Chapter 1
Tahun kedua aku berada di negara ini. Yah, disinilah aku, terjebak di sebuah Negara yang disebut United States of America. Terjebak diantara orang-orang asing. Aku benar-benar harus mulai dari tahap nol untuk beradaptasi di negara ini. Beradaptasi dengan cuacanya, waktunya, masyarakatnya, bahkan sampai jalan-jalannya. Aku benci dengan ayahku yang memindahkan keluarga kecilnya ke Amerika. Mengapa harus Amerika? Mengapa tidak di London saja? London sudah cukup jauh bagiku yang tinggal di Doncaster. Tapi aku tetap harus tinggal disini. Sampai kapan? Aku tidak tahu.
Aku melanjutkan sekolahku di suatu sekolah negeri di sebuah kota kecil. SMA di negara ini sangat jauh berbeda dengan di negara asalku, Inggris. Di Inggris, kami mengenakan seragam, tapi tidak disini. Mereka semua bebas mengenakan pakaian apa saja. Dan satu hal yang paling berbeda dengan sekolahku di Inggris adalah, suasana koridor. Suasana koridor disini sangat parah. Sampah dimana-mana, banyak pasangan yang bersandar ke tembok atau loker mereka hanya untuk bercumbu, anak-anak senior mengganggu anak-anak junior, semuanya terjadi di koridor.
Aku rindu Inggris. Aku rindu udaranya, masyarakatnya, teman-temanku, dan tentu saja sahabatku, Louis. Jujur saja, aku tidak memiliki banyak teman disini. Jangankan banyak, satu saja mungkin aku tidak punya. Disini mereka memperlakukan aku layaknya aku seorang “putri” hanya karena aku berasal dari Inggris. Ketika aku berdiri di dekat mereka atau berjalan melewati mereka, mereka akan mengganti aksen berbicara mereka yaitu Amerika, dengan aksen sepertiku, British. Itu sangat menjijikkan.
Seperti sekolahku di Inggris, mereka mempunyai banyak klub. Aku memilih untuk bergabung dengan klub fotografi. Bukan klub yang special, klub itu hanya berisi sekelompok anak yang gemar mengambil gambar dengan kameranya.
Di sekolah ini ada seorang anak bernama Brittany Frey dari klub pemandu sorak. Dia adalah kaptennya dan dia selalu berlagak seperti dialah yang mempunyai sekolah ini. Well, harus kuakui bahwa ayahnya adalah seorang sheriff. Dia selalu berjalan bersama teman-temanya yang selalu mengelilinginya seperti bodyguard. Dia cantik, memiliki badan seperti model, dan popular. Dan, dia tidak memiliki seorang kekasih. Aneh kan? Anak yang seperti itu tidak memiliki seorang kekasih.
Sebenarnya sih banyak sekali anak cowok yang mengantri untuk menjadi pacarnya, tapi tidak satupun yang berhasil menjadi kekasihnya. Ya, Brittany mengajak mereka semua berkencan atau sebagainya, tapi ia hanya mempermainkan semua laki-laki itu. Aku tidak terlalu suka dengannya. Yah, kami sih tidak pernah melakukan pembicaraan secara formal, tapi aku masih tidak suka dengannya. Aku hanya tidak suka dengan sikapnya, itu saja.Kami tidak memiliki masalah yang benar-benar masalah, jadi lebih baik kita lupakan saja dia.
****
Hari itu merupakan hari Senin biasa. Semuanya biasa saja sampai seluruh anak perempuan di sekolah ini berlari atau berjalan terburu-buru ke arah pintu depan. Apa yangsedang terjadi? Yesus datang ke sekolah ini? Absolutely NOT! Aku memperhatikan mereka dengan heran. Karena aku adalah seorang anak yang memiliki keingintahuan yang besar, jadi aku bergabung dengan anak-anak perempuan tadi.
Aku menerobos kerumunan itu hingga aku dapat melihat dengan jelas apa yang sedang terjadi di luar. Sebuah mobil Porsche hitam baru saja terparkir di halaman sekolah. Aku tahu itu bukan mobil dari salah satu anak di sekolah ini, lagipula siapa yang memiliki mobil semewah itu? Bahkan Brittany si anak sheriff dan Paul si kapten klub futbal tidak punya mobil semewah itu. Semua mata tertuju pada mobil itu. Apa sih yang special dari hal itu? Aku tidak habis pikir apa yang ada di pikiran anak-anak perempuan ini.
“Hey, what the hell is happening?” aku bertanya kepada seorang siswi disampingku.
“I heard we have a new student! And you know what, he’s a boy! And he’s a British!” jawab anak itu histeris. Baru kali ini ada seorang siswa di sekolah ini yang tidak mengubah aksennya ketika berbicara denganku. Mungkin ia sedang tidak peduli denganku. Tunggu dulu, apakah tadi dia bilang British Boy? Jadi itu yang membuat semua anak perempuan ini berlari ke pintu depan? Hanya karena seorang cowok Inggris menjadi murid di sekolah ini? Bah, aku sudah sering melihat banyak cowok Inggris dalam hidupku.
Ketika pengemudi mobil itu keluar, semua anak perempuan itu menahan teriakan mereka di kerongkongan masing-masing. Yah, dia memang keren. Dengan rambut coklat, kaus dengan pola bergaris, skinny jeans merah, jaket kulit, dan kacamata Ray-Ban, dia sangatlah keren. Dia berjalan kearah pintu depan. Sekarang, bukan hanya anak perempuan saja yang mengerumuni pintu depan, tetapi seluruh sekolah. Kalian tahu kan, bagian di film pada saat seorang cowok berjalan dengan slow motion dan seperti ada efek angin? Dia terlihat mirip seperti itu.
Aku ingin pergi saat itu. Tidak ada yang seru dari melihat seorang anak cowok Inggris berjalan memasuki gedung sekolah. Ketika ia semakin dekat dengan pintu depan, semua anak mulai memberinya jalan. Anak baru itu tersenyum kepada mereka semua. Senyum yang sangat menawan. Wait, apakah dari tadi aku memuja-muja anak baru itu? Forget it.
Ketika dia sudah melewati pintu masuk, ia melepas kacamata hitamnya. Sepertinya kami bertatapan mata secara langsung, walaupun tidak lama. Ia terlihat kaget melihat diriku, kenapa sih dia? Dan beberapa detik kemudian merupakan giliranku untuk menahan teriakanku. Mengapa? Karena aku baru saja sadar, kalau anak baru itu adalah sahabat terbaikku!
P.S: Sorry for taking a really long time to post this part! I really am sorry!